Selasa, 13 Agustus 2013

Sang Pamomong, MENGHIDUPKAN KEMBALI NILAI-NILAI LUHUR MANUSIA JAWA (sebuah Resensi)



Judul  : Sang Pamomong, Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Manusia JawaPenulis : Prapto Yuwono. Tebal  : x +186 halaman, Penerbit : Adi Wacana, Yogyakarta. Tahun Terbit : Cetakan I, 2012. ISBN : 978-979-1392-19-8

Manusia Jawa memiliki kekayaan ajaran tentang kesalehan hidup. Sekalipun demikian, sering terjadi salah tafsir mengenai ajaran-ajaran tersebut. Ajaran Kejawen yang menjadi akar dari filosofi spiritualitas Jawa misalnya, bukan saja terabaikan, bahkan sering didiskreditkan. Padahal ruh dari ajaran tersebut adalah tentang keselarasan sebagai prinsip hidup, suatu filosofi dan etika kehidupan yang sesungguhnya bersifat universal. Melalui buku Sang Pamomong, Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Manusia Jawa, Prapto Yuwono mencoba memberikan informasi dan pemahaman tentang ajaran-ajaran Kejawen.

Ajaran Kejawen berintikan tentang asal dan tujuan penciptaan manusia, seperti ajaran tentang hidup, kerja, kasih-sayang, dialog, hasrat, idola dan sebagainya. Pencapaian pemahaman ajaran-ajaran tersebut menurut Prapto Yuwono dapat diperoleh melalui tiga pendekatan yang saling melengkapi, yaitu pendekatan kawruh (pengetahuan kasat mata), pendekatan ngelmu (pengetahuan tidak kasat mata), dan pendekatan ngelmi (pengetahuan yang bersumber religiusitas) (hal, vi).

Kebajikan dari Kejawen sebagai  agama lokal adalah karena berisi aturan-aturan yang mengatur perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Prapto, spiritualisme Kejawen memiliki dua bagian yang integral. Yang pertama adalah filsafat Kejawen. Filsafat Kejawen adalah konsep teologi manusia dan masyarakat Jawa tentang sangkan paraning dumadi, asal dan tujuan penciptaan. Yana (2010) mangatakan Kejawen memiliki tiga aras dasar, yaitu aras kesadaran bertuhan, aras kesadaran alam semesta, dan aras keberadaban manusia. Pandangan filsafat ini menentukan sikap dan perilaku manusia.

Kedua adalah etika Kejawen. Etika Kejawen merupakan ajaran kesopanan yang berisi pedoman sikap dan perilaku yang diadopsi oleh masyarakat Jawa. Seperti sopan santun, cara berfikir, karakter, wacana, pola pikir, dan lain-lain. Etika Kejawen dibangun atas dasar filsafat Kejawen (hal, 11).

Pikiran-pikiran dasar yang dipelajari dalam spiritualisme Kejawen sebagai agama lokal sebenarnya sejalan dengan pikiran-pikiran dasar yang dipelajari di dalam spiritualisme agama resmi, yaitu ajaran tentang asal dan tujuan penciptaan. Oleh karena itu konflik seharusnya tidak perlu terjadi antar Kejawen dengan agama-agama resmi, apalagi sampai mendiskreditkan Kejawen sebagai kekafiran.

Dalam catatan penutup buku ini, Prapto juga memandang masalah konflik agama dan konflik antar golongan yang sering terjadi negeri ini khususnya di Jawa salah satunya disebabkan oleh lunturnya nilai-nilai ajaran Kejawen dalam masyarakat Jawa. Sedangkan penyebab lunturnya nilai-nilai Kejawen menurut Prapto adalah banyak masyarakat Jawa yang saat ini mengalami apa yang disebut sebagai kesunyian batin. Kesunyian batin adalah situasi kebingungan batin manusia akibat tercerabut dari akar budayanya (Kejawennya).  Kesunyian batin ini dipadankan dengan kain rombeng yang berlubang-lubang, yang disebut sebagai “lubang-lubang spiritual”.

Ketika lubang-lubang ini diisi oleh ajaran-ajaran yang fanatisme dan radikal, maka benih-benih konflik itu akan terus tumbuh. Karena setiap agama/kelompok pasti akan menganggap kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain adalah salah. Dalam konteks inilah ajaran Kejawen menjadi benteng untuk melindungi diri dari ajaran-ajaran fanatisme dan radikal. Ajaran Kejawen dipercaya mampu menjaga keselarasan hidup dalam masyarakat Jawa sebagai sebuah kearifan lokal (local wisdom) (hal 170).

Buku ini menjadi sebuah jawaban ketika masalah-masalah konflik sosial yang sering terjadi di tanah air kita ini tanpa ada penyelesaiannya. Ajaran Kejawen menjadi perlu untuk dilestarikan dan dipelajari lebih mendalam oleh semua orang tidak hanya di tanah Jawa namun di seluruh Nusantara. Untuk menciptakan masyarakat yang selaras, damai, cerdas dan selalu menjujung tinggi rasa toleransi antar sesama.

Peresensi
M. Al Mustafad
Mahasiswa FISIP
Universitas Wahid Hasyim Semarang

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar